Pemilu legislatif proporsional terbuka telah memungkinkan rakyat memilih langsung anggota dewan yang disukai dan dikenalnya sehingga tidak ada lagi umpama memilih kucing dalam karung.

Sistem Pemilu legislatif proporsional terbuka seperti telah menunjukkan kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai undang-undang sejalan dengan bunyi Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945.

Tak berlebihan, karena anggota legislatif yang menjadi pemenang di daerah pemilihan itu adalah peraih suara paling banyak hasil pilihan langsung dari rakyat atau pemilih.

Penerapan Pemilu legislatif proporsional terbuka mulai diterapkan sejak 2009 lalu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008.

Dengan kata lain, sistem Pemilu terbuka ini sudah dilaksanakan lebih 10 tahun atau sudah 3 kali digelar yaitu Pemilu 2009, 2014, dan 2019.

Pada perjalanannya, tingkat partisipasi pemilih di Pemilu legislatif 2009 mencapai 70,99 persen.

Sementara di Pemilu legislatif 2014 mencapai 75,11 persen dan kembali meningkat di 2019 mencapai 81,69 persen.

Sistem ini juga telah membuat para pemilih merasa bahagia karena dapat memilih calon perwakilan mereka di DPR dan DPRD serta DPD sesuai kehendak hati nuraninya tanpa terbebani apapun.

Partisipasi dan kendali masyarakat tentu juga meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai politik dan wakil mereka di parlemen.

Sistem ini juga memungkinkan caleg yang benar-benar mendekati masyarakat pemilih lah yang akan menang.

Sehingga caleg atau timses caleg yang tidak pernah mendekati masyarakat tentu tidak akan mendapatkan suara saat hari pemilihan.

Minimalisir Kesalahan dan Kelelahan

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Arief Budiman mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 lalu sebanyak 894 petugas. Sementara sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit.

Dalam acara Refleksi Hasil Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan Persiapan Penyelenggaraan Pemilihan Serentak 2020 di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020), Arief menyebut beban kerja di Pemilu 2019 yang cukup besar menjadi salah satu faktor banyaknya petugas yang sakit atau meninggal dunia.

Tentu dengan fakta ini menurut hemat penulis, bukan sistem pemilunya yang harus diganti. Namun perlu perbaikan di sana-sini.

Misalnya, penambahan jumlah anggota penyelenggara pemilu mulai dari tingkatan atas sampai bawah sehingga ideal atau proporsional dengan beban tugas yang bertambah.

Selain penambahan jumlah anggota, pola perekrutan petugas penyelenggara Pemilu juga harus diatur ketat sedemikian rupa seperti batasan usia dan penggunaan standar kesehatan.

Berdasarkan PKPU Nomor 8 Tahun 2022, jumlah anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam Pemilu adalah lima orang.

Sementara anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) berjumlah tiga orang. Untuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), anggotanya berjumlah tujuh orang.

Menurut hemat penulis, perlu penambahan untuk anggota penyelenggara Pemilu ini. Bisa saja anggota PPK menjadi 7 orang, PPS menjadi 5 orang dan KPPS menjadi 9 orang.

Demikian halnya dengan lembaga pengawas, harus dilakukan penambahan pada anggota Panwaslu kecamatan, Panwaslu desa dan Pengawas TPS.

Tentu dengan penambahan jumlah petugas penyelenggara Pemilu, maka beban kerja petugas yang terlibat bisa diminimalisir dan bisa mencegah kelelahan yang berlebihan.

Berdasarkan data KPU dan Bawaslu, pada pemilu 2019 lalu, jumlah suara tidak sah mencapai 17.503.953 atau setara 11,12 persen.

Proses pemungutan suara di mana pemilih harus memilih calon dengan daftar nama, sangat berpotensi menyebabkan suara tidak sah.

Menurut hemat penulis, hal ini hanya perlu membiasakan diri saja dan perlu terus dilakukan sosialisasi setiap waktu dari penyelenggara Pemilu.

Pemilu proporsional terbuka baru tiga kali digelar atau baru berjalan lebih 10 tahun, sementara umur Republik Indonesia ini sudah berusia 78 tahun dan sudah puluhan kali menggelar Pemilu.

#Penulis : Ikror Amin Lubis
#Pekerjaan : Redaktu Pojoksatu.id 
#Domisili : Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal