TAPANULI SELATAN, HARIAN TABAGSEL.com- Pemerintah daerah Tapanuli Selatan dipandang sudah perlu membuat dan menerbitkan peraturan daerah mengenai penetapan masyarakat hukum adat tanah adat/ulayat apabila memang terdapat masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya. Hal ini disampaikan ketua Parsadaan Rim Nitahi Hayuara Mardomu Bulung Kaslan Dalimunthe, Minggu (25/6/2023).
Dijelaskan, terkait dengan tanah Ulayat Hayuara Mardomu Bulung yaitu hutan yang berada di kawasan Mosa, sejauh ini DPRD dan Pemerintah daerah Tapanuli Selatan belum ada menerbitkan perda nya.
“Ini perlu penerbitan atau pengakuan tentang status tanah ulayat, sebab masyarakat sangat menggantungkan harapan bisa berkebun disana,” ujarnya.
Diceritakan, sejak izin pengelolaan hutan kayu yang dipercayakan kepada PT PLS itu tidak diperpanjang lagi, ada riak-riak dalam pembalakan hutan kayu di wilayah ini, hal ini terbukti dengan adanya balok kayu yang diamankan oleh dinas Kehutanan dan Polres Tapsel yang dibantu anggota Hayuara Mardomu Bulung beberapa bulan yang lalu.
“Satu orang dari tersangka pembalak kayu ilegal di wilayah Mosa ini telah dapat diamankan, dan kami mengucapkan terimakasih kepada Polres Tapsel dan pihak Kehutanan atas tindakan yang telah dilakukan,” ujarnya.
Parsadaan Rim Nitahi Hayuara Mardomu Bulung berharap sebagaimana dengan isi surat kementerian LHK melalui Dirjen LHK yang diteruskan ke HBM supaya itu diusulkan buat perda, dengan bunyi surat pengakuan tentang masyarakat adat dan tanah adat.
“Dari situlah nantinya masyarakat kami bisa mendapatkan alas hak tentang pengelolaan dan penggunaan tanah itu ke depan,” sebutnya.
Sekitar 4000-5000 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Sayur Matinggi, Kecamatan Tantom Angkola dan sekitarnya menggantungkan harapan untuk bisa menggarap dan mengelola hutan tersebut.
“Sebelumya ribuan hektare hutan ini puluhan tahun dikelola oleh PT PLS, namun masyarakat tidak mendapatkan manfaat atas pengelolaan lahan ini, maka dari itu masyarakat melakukan aksi ke lokasi dan menuntut pemerintah untuk tidak menerbitkan perpanjangan izin perusahaan,” tegasnya.
Hayuara Mardomu Bulung dalam perjuangan ini hanya didasari dengan tujuan untuk dapat memberikan kemaslahatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat yang ada di tiga kecamatan itu.
“Ceritanya masyarakat punya tanah dan wilayah namun tidak bisa mengelolanya, ini kan aneh, malah Korporasi diberi ruang dan kesempatan, ada apa ini?. Apakah masyarakat tidak boleh sejahtera dan harus miskin selamanya?,” tanyanya.
Izin pengolahan kayu sudah habis beberapa tahun lalu, harusnya pemerintah mencabut izin itu secara permanen bukan malah memberi ruang dan kesempatan kedua kalinya bagi perusahaan tersebut.
“Pemerintah jangan abu-abu, perusahaan masih ingin memperpanjang, izin habis, ya sudah cabut aja izin itu secara permanen, ini sudah satu tahun lebih namun belum ada ketegasan dan kejelasan terkait dengan lahan ini,” katanya.
Pihaknya berharap soal status pengelolaan hutan yang ada di kawasan wilayah Mosa jangan di gantung-gantung, ini bisa beresiko tinggi soalnya masyarakat sangat membutuhkan lahan itu.
“Pemerintah jangan bertele-tele agar kepercayaan masyarakat itu tidak hilang dan bisa terus terjaga, jujur saya takut ke depan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kita tau Hukum adat sudah ada, hukum Agama sudah, Hukum Negara ada, jangan sampai ada lagi hukum yang titik-titik akibat dari ketidak nyakinan masyarakat itu sendiri,” tutupnya. (*/SMS)