Tulisan ini diangkat seiring akan dilaksanakannya Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) pada 24 Agustus mendatang di 42 desa di Kota Padangsidimpuan

///Tentang Desa

Kelahiran UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi oase yang menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi re-demokratisasi desa. Regulasi baru ini menyediakan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI.

Terbitnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dirasa sebagai salah satu jawaban. Selain memberi pesan eksplisit berupa pengakuan (recognition) negara pada desa, regulasi ini juga memperjelas kedudukan dan kewenangan desa dalam politik pembangunan.

Dan desa juga sudah mendapatkan kewenangan otominya dalam melaksanakan dan bertanggungjawab serta mengatur rumah tangganya sendiri termasuk memilih pemimpin didesa secara demokratis melalui Pilkades.

Meskipun sebenarnya desa telah mengenal demokrasi sebelum negara kita terbentuk  yakni sebagai masyarakat komunal, warga desa kental dengan sikap toleran, tolong menolong, gotong royong dan saling menghargai. Kondisi ini pun membentuk kehidupan demokrasi desa yang juga toleran, saling menghormati, saling menolong berpartisipasi secara sukarela, dan mengedepankan kemanusiaan.

////Pentingnya Menjaga Keharmonisan

Sebagaimana kita ketahui bersama, desa didominasi masyarakat adat dengan konsep kekerabatan dan persaudaraan termasuk di Kota Padangsidimpuan yang dikenal masyarakat adat dangan prinsip Dalihan Natolu (Mora, Kahanggi dan Anakboru).

Dan dalam konteks pilkades, dibanyak daerah sudah sering terjadi dua bersaudara maju menjadi calon kepala desa dan atau masih ada hubungan kekeluargaan (markoum) atau para Cakades memiliki keterikatan sosial di desa.

Tentu hal inilah yang paling penting dari sebuah Pilkades, yakni tetap menjaga keharmonisan dan persaudaraan sebelum dan setelah Pilkades agar tidak ada potensi konfilk.

Dan ini membutuhkan kerja sama semua pihak termasuk konsolidasi pemangku kebijakan seperti Forkompimda dan Tokoh Masyarakat  untuk terus memberikan pemahaman kepada warga secara langsung bahwa Pilkades adalah pesta demokrasi yang membahagiakan dan harmonis.

/////Menghempang Kepentingan Politik 2024

Bukan tidak mungkin, aktor-aktor yang terlibat dalam pilkada juga pemilu akan kembali menyasar proses demokrasi desa. Satu hal yang pasti mereka sedang menghubungkan jalan bagi kemenangan di pemilu dan pilkada dengan menguasai para kontestan yang terlibat dalam pilkades.

Asumsinya sederhana, mereka yang menang di desa tentu memiliki loyalis pribadi ditambah dengan perangkat kekuasaan yang dimilikinya. Menguasai hasil demokrasi desa sama dengan selangkah menguasai konstestasi pilkada dan pemilu 2024.

Maka sebisa mungkin semua pihak untuk menghempang agar tidak ada intervensi dari luar dalam pelaksanaan pilkades.

///////Catatan

Dari semua proses pilkades tentunya ada kelebihan dan kekurangan, maka catatan yang dituliskan ini merupakan saran dan hasil amatan pribadi.

Ada beberapa hal yang perlu untuk segera dievaluasi dalam upaya suksesi Pilkades.

  1. Kurangnya waktu yang cukup untuk masyarakat mempersiapkan diri mencalonkan Kepala Desa dan mengenal para calon kepala Desa.
  2. Kurangnya sosialisasi yang diberikan kepada warga desa secara langsung tentang menjaga persatuan jelang Pilkades.
  3. Juga perlunya aturan Walikota yang mengatur sanksi bagi pihak yang melakukan kecurangan.
  4. Masyarakat diberikan kesempatan untuk menyiapkan diri dalam Pemilihan Kepala Desa.
  5. Diadakan sosialisasi tata cara dan prosedur pemilihan Kepala Desa kepada masyarakat di masing-masing desa dan di tingkat kecamatan secara berkali-kali, khususnya tentang tata cara pencoblosan dan pelipatan kartu suara. (***)

Penulis: Amir Hamzah Harahap

Alumni Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (UMTS)