MANDAILING NATAL, hariantabagsel.com– Pernyataan Bupati Mandailing Natal (Madina), H. Saipullah Nasution, terkait adanya “dalang di balik aksi demonstrasi sawit” mendapat kecaman tajam dari berbagai kalangan. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mandailing Natal, Sonjaya Rangkuti, menilai pernyataan tersebut mencerminkan kegagalan Bupati memahami dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang selama ini menuntut pemenuhan hak plasma sawit di wilayah Pantai Barat Madina.

“Fokus pemerintah seharusnya bukan mencari siapa dalangnya, tetapi mencari solusi nyata atas persoalan plasma sawit yang menjadi sumber keresahan warga selama ini,” tegas Sonjaya dalam keterangan pers di Panyabungan, Kamis (7/11/2025).

Dalam perspektif hukum tata negara, kepala daerah memiliki kewajiban mutlak menegakkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan harus dilaksanakan menurut konstitusi. Oleh karena itu, setiap kebijakan maupun pernyataan publik seorang kepala daerah wajib berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan sekadar pencitraan politik atau pembenaran kekuasaan.

Lebih jauh, Sonjaya menekankan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak fundamental warga negara yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta diperkuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Jika pun ada pihak yang disebut ‘dalang’, apa salahnya bila aspirasi yang di sampaikan itu benar? Apa salahnya jika ada yang menggerakan untuk menegakkan keadilan?Lantas mau di apakan orang nya? Harusnya kita bangga masih ada orang-orang yang peduli terhadap daerah ini. Sebab Kritik dan koreksi adalah bukti kecintaan terhadap daerah, bukan malah di pandang sebagai ancaman terhadap kekuasaan,” kata Sonjaya.

Meskipun Dinas Kominfo Madina membantah Bupati mengeluarkan pernyataan tersebut, Sonjaya menilai bantahan itu tidak menyentuh akar persoalan.

“Seorang kepala daerah bukan sekadar pejabat administratif, tetapi simbol legitimasi politik dan moral. Setiap kata dan sikapnya memiliki bobot hukum dan implikasi etik yang signifikan bagi tata kelola pemerintahan,” jelasnya.

Dalam konteks kebijakan publik, kewajiban perusahaan perkebunan untuk menyediakan plasma minimal 20 persen bagi masyarakat diatur dalam Permentan Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), serta diperkuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Peraturan tersebut mewajibkan perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan hukum.

“Rakyat tidak butuh siapa yang paling pandai berbicara, tetapi siapa yang berani bertindak adil. Dalam sistem hukum tata negara, pejabat bukan alat pembela citra, melainkan pelayan kebenaran. Tidak ada yang lebih krusial dalam pemerintahan selain kepentingan rakyat – rakyat, dan rakyat,” tegas Sonjaya 

Selain itu, Permentan Nomor 18 Tahun 2021 menegaskan berbagai pola fasilitasi kebun masyarakat, mulai dari pola kredit, bagi hasil, hibah, hingga kemitraan produktif perkebunan. Pemerintah daerah memiliki kewajiban hukum untuk mengawasi dan menegakkan sanksi bagi perusahaan yang gagal memenuhi ketentuan tersebut, termasuk denda, penghentian sementara, atau pencabutan izin usaha perkebunan.

Sonjaya menilai kegagalan Pemkab Madina menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait konflik agraria sawit merupakan bentuk maladministrasi politik, bertentangan dengan asas tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 67 huruf (b) dan (d). Kepala daerah wajib menegakkan peraturan perundang-undangan serta menjaga integritas dan etika pemerintahan.

“Jika seorang kepala daerah kehilangan kepekaan terhadap penderitaan rakyat, secara moral dan konstitusional ia telah gagal menjalankan amanat jabatan. Dalam kondisi demikian, mundur secara terhormat adalah pilihan paling bijak,” tutup Sonjaya dengan tegas.

Isu plasma sawit di Pantai Barat Madina telah menjadi sumber ketegangan sosial dan ekonomi selama bertahun-tahun. Realisasi kebun plasma merupakan hak ekonomi dan sosial warga yang dijamin konstitusi. Partisipasi publik dan penyampaian pendapat adalah fondasi demokrasi yang harus dilindungi, bukan dicurigai. Pemerintah daerah dituntut hadir sebagai fasilitator dan penegak hukum, bukan sekadar simbol kekuasaan. (Rel-HT)