Penulis : MASITHOH BATUBARA, S.Pd.I
Aktivis Perempuan dan Aktif sebagai Sekretaris PC Fatayat NU Kota Padang Sidempuan
Peran perempuan di ruang publik sering diremehkan, bias gender masih sering terjadi di semua profesi, baik itu di ranah politik atau bisnis. Perempuan sering dihadapkan dengan dua pilihan, perempuan yang berprofesi karir atau perempuan rumah tangga. Itu adalah ujian yang harus dipilih, padahal perempuan yang memiliki seribu peran dan melaksanakan pelatihan tanpa harus memilih. Dengan catatan peran domestiknya sudah dapat ia selesaikan dengan baik, sehingga tidak ada alasan untuk dapat melangkah di ranah publik. Salah satu terletak pada sistem pendukung yang dimiliki, salah satunya adalah keluarga. Terlahir dari keluarga feminis adalah salah satu keberuntungan. Peran perempuan di ranah pablik sudah siap-siap secara maksimal, karena ada dukungan penuh dari keluarga. Pola hubungan dalam rumah tangga yang harus menyampaikan, merasa nyaman dengan stereotipe (prasangka) di masyarakat yang sering menganggap biasa saja dan bukan bias gender.
Perempuan sering menjadi pemanis atau pelengkap dalam banyak bidang. Budaya patriarki menjadikan perempuan di arena publik menjadi sedikit terkucilkan. Padahal perempuan bukan hanya pemanis atau pun pelengkap, laki-laki dan perempuan memiliki ruang yang sama untuk kreativitas dan beramal sehingga bisa menebarkan kebermanfaatan sebanyak banyaknya. Teori Peran dalam budaya patriarki, pandangan masyarakat mengenai gender dan perilaku sosial, dalam konteks dan berbagai proses yang mungkin menjelaskan atau sedang. Representasi politik, hal ini terbagi menjadi 3 bagian, pertama representasi tidak utuh, maksudnya adalah Representasi politik tidak akan menghadirkan representasi identitas dan identitas secara sempurna, hanya sebagian sehingga representasi adalah klaim semata-mata bukan sebuah fakta representasi. Kedua adalah Representasi Demokratis, maksudnya jika mereka yang kepentingan tersentuh oleh sebuah keputusan yang mempunyai kapasitas untuk terlibat pembuatan keputusan tersebut. Dan yang terakhir dalah Representasi Elektoral, Proses elektoral menghasilkan representasi politik formal pada ranah jabatan eksekutif dan legislative. Perempuan dalam tantangan pengawasan Partisipasi perempuan dalam pemilu banyak yang terkait dengan pertanyaan apakah sistem pemilu sudah menerapkan struktur kesempatan. Walaupun Indonesia mempunyai desain pemilu untuk meningkatkan Partisipasi perempuan, seperti kewajiban 30% sebagai anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat partisipasi politik perempuan yang rendah. Ketidakadilan gender, motivasi dan sistem patriarki sebagai penghalang sebagai partisipasi perempuan menjadi pengawas pemilu. Sebagian kelompok masih memiliki sikap tidak mempercayai ruang-ruang pekerjaan yang berisiko pada keselamatan, intimidasi, diserahkan kepada perempuan dalam pengawasan pemilu. Kesetaraan Gender dalam kemandirian dan egaliter harus memiliki nilai-nilai pemberdayaan ekonomi dan sosial politik. Keluar dari kungkungan patriarki dengan menjadikan gerakan bersama untuk membangun kesadaran. Egaliter yaitu semuanya sama di mata Tuhan kecuali ketaqwaannya.
Dalam memastikan kontestan pemilu juga memiliki visi yang sama terkait urgensi keterwakilan politik perempuan, pemilihan penyelenggara pemilu dari unsur perempuan juga akan menerima penghargaan dan dampak positif dari basis konstituennya bahwa partai yang erat dengan catatan oligarkis kepentingan laki-laki justru menjawab melalui pentingnya perempuan dalam penyelenggara pemilu. Hal ini menjadi argumentasi pragmatik yang menjadi catatan positif pemilih. Aspek keterwakilan perempuan pada dua lembaga penting penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu, menjadi awal dukungan keterwakilan politik perempuan. Yakni, dengan memastikan penyelenggara bukan hanya yang memahami politik gender, melainkan hadirnya perempuan secara angka dan makna. Kaitannya dalam demokrasi yang merepresentasikan keterwakilan politik perempuan, Joni Lovenduski dalam esainya Politik Berparas Perempuan menjelaskan argumentasi pentingnya politik yang diwakili perempuan. Pertama, argumen keadilan yang menyatakan dalam negara yang demokratis perempuan secara formal konstitusional sama dengan laki-laki. Kedua, argumentasi pragmatik; kecenderungan partai politik yang membela perempuan akan dipilih oleh perempuan (dari hasil penelitiannya di Inggris pada 1979). Ketiga, argumentasi perbedaan yang mengatakan bahwa perempuan membawa pengaruh dan dampak politik yang lebih baik dan menguntungkan semua pihak, seperti terhubung dengan masyarakat sipil, masyarakat pinggiran, dan praktik subordinasi.
Dalam konteks tahapan Pemilu 2024 ke depan, pemilihan penyelenggara pemilu merupakan bagian dari sistem pemilu yang harus memastikan terwakili oleh perempuan sekurang-kurangnya dalam 30% kuota perempuan. Berarti jumlah yang diinginkan adalah setidaknya 3 orang perempuan di KPU dan 2 orang perempuan di Bawaslu. Angka ini menjadi sangat penting dalam mengakomodasi kepentingan pemilu inklusif dan jaminan kesamaan politik perempuan secara konstitusional. Dalam pemahaman keadilan yang disampaikan Lovenduski di atas, bahwa Indonesia sudah meratifikasi hak Sipol, Ekosob, dan CEDAW sebagai implementasi aspek kesetaraan perempuan di ranah politik. Aturan perundangan telah menempatkan affirmative actions terhadap politik perempuan semata-mata untuk meyakinkan bahwa politik perempuan merupakan rekayasa positif dalam mencegah dan menjawab politik hanya dalam ranah laki-laki.
Secara filosofis, manusia yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakan secara tak terbatas pula. Batasan yang dimaksud adalah beragamnya kepentingan kelompok dalam suatu tujuan politik untuk meminimalisasi praktik dominasi dalam ranah kekuasaan. Konteks affirmative action dalam politik perempuan merupakan suatu konsekuensi politis dalam demokrasi yang mengutamakan aspek perwakilan dan keterwakilan. Yakni di satu sisi lembaga politik yang menaungi beragam perwakilan politik, di sisi lain aspek keterwakilan politik perempuan dengan beragam kepentingan dan perspektif yang khas untuk kepentingan perempuan. Dalam memastikan kontestan pemilu juga memiliki visi yang sama terkait urgensi keterwakilan politik perempuan, pemilihan penyelenggara pemilu dari unsur perempuan juga akan menerima penghargaan dan dampak positif dari basis konstituennya bahwa partai yang erat dengan catatan oligarkis kepentingan laki-laki justru menjawab melalui pentingnya perempuan dalam penyelenggara pemilu. Hal ini menjadi argumentasi pragmatik yang menjadi catatan positif pemilih.
Untuk itu Fraksi DPR saat ini hendaknya memanfaatkan situasi tersebut semata untuk kepentingan demokratik dan jika ada dampak pragmatik seperti yang diramalkan Lovenduski merupakan sebuah bonus yang patut disyukuri. Sudah saatnya partai politik berkomitmen kuat terhadap keberlanjutan politik perempuan sejak dari kepala, sejak dari hulu sehingga mengawal kepentingan perempuan adalah bagian integral, bukan semata menempatnya sebagai basis pemilih melainkan agenda strategis partai. Teori Robert Michels tentang The Iron Law of Oligarchy (Hukum Besi Oligarki) menyatakan bahwa partai politik, sebagai sebuah entitas politik, sebagai sebuah mekanisme, tidak secara otomatis mengidentifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya juga kelas sosial yang mereka wakili. Partai sengaja dibentuk sebagai alat untuk mengamankan tujuan. Juga menjadi bagian dari tujuan itu sendiri, memiliki tujuan dan kepentingan di dalam dirinya sendiri.
Upaya partai politik dalam merealisasikan fungsinya sebagai penyalur partisipasi, rekrutmen, perluasan dukungan masyarakat, seharusnya tanpa menuai prahara bagi tegaknya keterwakilan politik perempuan. Persoalan keterwakilan perempuan dalam partai politik menjadi perhatian serius pada era reformasi dalam menjawab persoalan keterwakilan. Setiap warga negara yang memiliki ambisi dalam politik praktis dapat membangun kepentingannya dengan mendirikan partai politik. Dari pengertian di atas keberadaan partai politik mampu mengajak dan menggiring masa untuk menyalurkan kepentingan mereka dan mempercayakannya kepada partai politik. Partai politik yang seperti apa? Tentu partai politik yang memahami fungsinya sebagai corong sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemandu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik dan kontrol politik yang memandu dan menyongsong politik tanpa diskriminasi dan inklusif pada kepentingan perempuan.
Analisis ketiga perwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara dapat dikaitkan dengan apa yang dikemukakan Lovenduski bahwa akan membawa pengaruh dan dampak perbaikan pada semua pihak. Bukan hanya pada aspek kelembagaan penyelenggara pemilu dan partai politik sebagai kontestan, melainkan pada aspek pemberdayaan politik secara universal, yang di dalamnya ada masyarakat sipil, kalangan perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas yang kemungkinan mengalami kerentanan terampasnya hak konstitusi dikarenakan adanya keberagaman persoalan dan keterbatasan yang mereka alami. Serta, dampak jangka panjang yakni memastikan sistem pemilu ramah perempuan yang menjadi harapan perbaikan nasib perempuan dan perlindungan anak dari waktu ke waktu yang terus menjadi masalah mengemuka dalam konteks kesejahteraan sosial di Indonesia. Hal ini menguatkan tujuan pemilu dan pengawasan pemilu yang mampu menjamin seluruh hak pilih dapat disalurkan, bahkan jauh sebelum mereka menentukan pilihan. Salah satunya yakni literasi politik demokratik di era keterbukaan saat ini merupakan kebutuhan seluruh warga bangsa, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses politik. Pemetaan isu dan strategi literasi politik ke depan sekurang-kurangnya dalam tiga hal. Pertama, dinamika politik global dan nasional meniscayakan kematangan sikap dan tindakan politis warga negara; mereka harus mampu merespons dan menyikapinya sesuai dengan konsensus dan tata perundang-undangan yang ada. Sedangkan di sisi lain setiap negara memiliki kedaulatan masing-masing, tetapi interaksi antarnegara terkadang menyulut persaingan dan konflik. Imbasnya, hal ini berpengaruh terhadap negara lain. Kedua, dalam konteks global dan nasional pematangan demokrasi, pemberdayaan civil society dan HAM adalah isu-isu yang harus dipahami dengan baik oleh warga negara. Dari pemahaman ini diharapkan setiap individu mampu memperjuangkan dan berperan dalam upaya penegakannya. Ketiga, dalam praktiknya literasi politik telah diupayakan melalui beragam cara dan pendekatan, baik melalui partai politik, media sosial, media massa, hingga memberdayakan generasi milenial dan kaum perempuan. Namun tetap capaian itu harus dipertahankan dan Kembali dipastikan menjadi sebuah paket kontinuitas demokratik dalam menuju perhelatan demokratik pada 2024 dan kepentingan jangka panjang negara yang demokratis dan melindungi seluruh umat manusia.