PADANGSIDIMPUAN, hariantabagsel.com- Maraknya kasus cabul di Kota Padangsidimpuan dan Tapanuli Selatan saat ini menjadi sorotan publik, bahkan sudah banyak pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak ini yang sudah masuk bui.

Terkait kasus tersebut Sekretaris Lembaga Burangir Pelindungan Anak dan Perempuan, Juli H Zega mengatakan, aparat penegak hukum harus berani menjatuhkan hukuman berat bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

“Aparat penegak hukum juga tidak boleh memberi ruang kepada para pelaku kejahatan seksual, untuk menempuh jalan damai dengan keluarga korban,” kata Juli di kota Padangsidimpuan, Rabu (23/4/2025) siang.

Meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak dewasa ini membuat masyarakat menginginkan hukuman berat terhadap pelaku agar menimbulkan efek jera.

“Kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindakan kejahatan kemanusiaan. Mestinya aparat penegak hukum memberikan hukuman berat yang dapat membuat pelaku jera, bukan memberi ruang untuk melakukan hal yang sama,” katanya.

Mengenai undang-undang, dia mengatakan, hukuman kepada pelaku sebenarnya cukup tinggi. Hal ini sudah diatur dalam pasal 82 UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam undang-undang ini, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun.

Selain itu, pelaku kejahatan terhadap anak ini juga didenda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.

“Untuk data yang kami peroleh di tahun 2025 ini saja sudah ada beberapa kasus viral mulai dari Kota Padangsidimpuan, dimana anak SMP yang dikencani di salah satu Pondok Simarsayang, anak-anak yang masih balita yang pelakunya oleh tulangnya sendiri dan ada juga oleh suami dari pengasuh adik korban, terakhir bagaimana seorang anak SMA diperkosa oleh supir angkot. Demikian juga di Tapsel soal anak pelajar SMP dan SMA yang dilecehkan oleh tetangga hingga anak-anak santri yang menjadi korban sodomi,” papar Juli.

Juli Zega Juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak ini haruslah tetap menjadi salah satu perhatian utama pemerintah dalam mengambil langkah-langkah kebijakan yang konkrit agar bisa meminimalisir tindakan kejahatan seksual ini.

Sosialisasi ke masyarakat harus terus digencarkan, tidak hanya sampai pada tingkat aparat pemeintah desa/kelurahan tetapi informasinya harus sampai pada tingkat keluarga.

Apa indikator yang selama ini menjadi celah pelaku melakukan kejahatan seksual kepada anak harus diketahui masyarakat agar mereka secara mandiri maupun dibantu pemerintah dapat mengantisipasinya.

“Dimulai dari kondisi rumah yang harus aman dan memiliki ruang privasi untuk anak perempuan, di beberapa tempat kami masih melihat ada rumah yang tidak memiliki kamar tidur padahal sudah ada anak perempuan yang remaja di rumah tersebut,” katanya.

Demikian juga soal fasilitas toilet dan kamar mandi yang masih banyak tidak dimiliki masyarakat, masih mempergunakan sungai dan tempat-tempat umum.

‘Hal-hal diatas perlu lah masuk dalam rencana pembangunan daerah agar dapat membantu masyarakat mendapat fasilitas tersebut mulai dari bedah rumah hingga program pengadaan kamar mandi. Selama ini masih sangat terbatas pengadaan yang terealisasi,” harapnya.

Terakhir Juli mengatakan ada lingkungan yang ramah bagi anak harus diterapkan di tingkat komunitas paling bawah masyarakat. Para tokoh di masyarakatlah yang harus menggiatkan sosialisasi dimulai dari tingkat lingkungan. (Sabar Sitompul)